Rainbow

Rainbow

Rabu, 09 Maret 2011

Kesetaraan dan Keadilan Perempuan

Disadari atau tidak, selama ini marginalisasi perempuan telah terjadi dalam
kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan. Terdapat banyak contoh
bagaimana kaum perempuan secara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan.
Konsepsi bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah (bread winner) menjadikan
laki-lakilah yang menyandang status sebagai pekerja.

Seperti tercermin di dalam berbagai laporan sensus dan statistik pembangunan,
status pekerjaan perempuan sering diidentifikasi sebagai ibu rumah tangga
(housewife) dengan tugas-tugas domestik. Sekalipun sehari-harinya perempuan
juga masih ikut menitikkan keringat bekerja di luar sektor domestik tersebut.
Stereotip yang selalu memandang bahwa perempuan adalah makhluk yang irrasional
dan emosional, membuat mereka kurang layak untuk menjadi pemimpin dan pendapat
mereka juga dianggap kurang penting dan hanya layak melakukan
aktivitas-aktivitas domestik.

Ketidaksetaraan peran antara perempuan dan laki-laki ini dipengaruhi oleh
berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat, penafsiran agama dan konstruksi
sosial budaya yang mengatur alokasi peranan, atribut, stereotip, hak,
kewajiban, tanggung jawab dan persepsi terhadap laki-laki maupun perempuan.

Marginalisasi, diskriminasi dan subordinasi terhadap kaum perempuan membuat
daya saing perempuan dalam berbagai aspek kehidupan menjadi sangat lemah.
Kondisi ini telah menyebabkan kondisi perempuan khususnya di Indonesia masih
memprihatinkan. Menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004
jumlah perempuan umur 10 tahun keatas yang belum atau tidak pernah sekolah dua
kali jumlah laki-laki (11,56% : 5,43%). Angka harapan hidup perempuan meskipun
lebih tinggi dari laki-laki tapi angka kematian ibu hamil melahirkan masih
tinggi.

Marginalisasi, diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan juga merupakan
imbas tidak langsung dari beberapa kebijakan yang masih bias gender. Bias
gender sebenarnya telah terjadi semenjak lama dan sampai saat ini masih saja
terjadi. Berbagai kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk pengaturan aspek
publik pada akhirnya memberi pengaruh yang sangat siknifikan terhadap aspek
domestik. Contoh, kebijakan kenaikan BBM, memberi pengaruh besar terhadap
perempuan, karena perempuanlah yang mengurus urusan domestik

Problem kemiskinan yang menghimpit perempuan pada sisi lain telah memaksa
(sebagian juga dipaksa) mereka mencari sumber-sumber ekonomi dengan berbagai
cara. Sebut saja Para TKW yang menjalani pekerjaan dengan mempertaruhkan risiko
yang memungkinkan mereka direndahkan dan diperlakukan dengan kekerasan, bahkan
tidak jarang menemui kematian. Kasus lain adalah perdagangan perempuan
(trafficking in women). Indonesia termasuk negara dengan jumlah kasus
traffickig yang besar di dunia. Sebagian mereka terpaksa menerima menjadi
pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK).

Undang Antipornografi dan Pornoaksi yang saat ini sedang dibahas dituding
mendiskreditkan kaum perempuan. Perempuan dituding sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab dan paling dihujat dalam setiap kasus pornografi dan
pornoaksi. Sejumlah LSM perempuan bahkan terang-terangan menolak seluruh isi
rancangan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi tersebut karena dianggap menutup
mata terhadap kemiskinan perempuan. Sistem patriarkhi yang masih dianut di
Indonesia telah memposisikan rendahnya daya tawar perempuan dibandingkan
laki-laki termasuk dalam akses ekonomi dan pendidikan yang membuat kemiskinan
lebih dekat dengan perempuan dibandingkan laki-laki. Faktor kemiskinanlah yang
membuat perempuan masuk ke dalam lingkungan industri pornografi.

Perempuan tidak bisa sepenuhnya disalahkan dalam berbagai kasus pornografi dan
pornoaksi. Secara finansial perempuan yang terlibat dalam aktivitas ini hanya
mendapat sebagian kecil dibandingkan pihak-pihak yang merupakan otak dari
kegiatan pornografi ini yang dalam hal ini adalah perusahaan penerbitan, agensi
model, fotografer dan lain-lain. Seharusnya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
dapat men-cover seluruh elemen yang terlibat dan tidak hanya membidik perempuan
yang tak lebih hanya sebagai boneka yang dikendalikan oleh kekuasaan,
kemiskinan dan mungkin juga gaya hidup hedonisme yang lahir dari lemahnya
posisi perempuan dalam tatanan sosial kemasyarakatan di Indonesia dan juga
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kebebasan media yang mempengaruhi
sudut pandang perempuan tentang gaya hidup.

Sebenarnya banyak faktor yang terkait dengan pornografi dan pornoaksi dewasa
ini. Di samping kemiskinan perempuan karena faktor ekonomi juga disebabkan
makin menyusutnya rasa malu dan makin jauhnya agama dari pribadi-pribadi yang
terlibat dalam aktivitas pornografi maupun masyarakat. Pergeseran sudut pandang
tentang nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut, telah membuat gaya hidup
hedonisme dipandang sebagai gaya hidup yang seharusnya dimiliki. Di sinilah
media sangat berpengaruh. Kebijakan pemerintah yang memberi kemudahan dalam
pendirian sebuah media, baik elektronik maupun tulisan seringkali memberikan
tontonan yang memberi pengaruh besar terhadap gaya hidup, nilai-nilai dan
batasan norma kesopanan yang dianut selama ini.

Cara strategis untuk mengatasi semua ini adalah menciptakan budaya setara dan
adil gender serta kebijakan yang sensitif gender. Perempuan harus diberlakukan
secara terhormat dan dihargai sama dengan yang didapat laki-laki. Laporan Dana
Kependudukan PBB (UNFPA) tentang kondisi kependudukan dunia tahun 2005
menyatakan bahwa para pemimpin dunia tidak akan mampu mengurangi kemiskinan
jika mereka tidak menghilangkan diskriminasi gender. Membiarkan kebodohan,
kemiskinan dan kesakitan perempuan sama artinya dengan mempersiapkan generasi
yang bodoh dan miskin. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-
bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut.
Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional
sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan
dan kesetaraan gender.

Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas.
Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di
pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada
pembangunan dalam kebijakan, program/proyek dan kegiatan.
Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan.
Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program
pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.

Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000)
merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan
mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses
pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.

Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena
kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam
mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan
yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.

Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik
perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan
belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh
manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih
belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.
Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki
daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin
dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau
cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; Kemampuan, kemauan dan kesiapan
perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para pengambil
keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender.
Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra
kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan
pembangunan.
Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai
peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar