Rainbow

Rainbow

Rabu, 09 Maret 2011

“Anarkisme”

Di seluruh dunia, jumlah anarkis cukup banyak karena keberadaan mereka sudah lebih dua abad. Pluralitas pandangan tak bisa dihindari. Meski demikian, garis merah anarkisme konsisten dan prinsip terfundamentalnya transparan. Maka ia mudah ditelusuri, sebab hakikat anarki itu cuma menyangkut empat garis merah berikut. Anarki adalah perindu kebebasan martabat individu. Ia menolak segala bentuk penindasan. Jika penindas itu kebetulan pemerintah, ia memilih masyarakat tanpa pemerintah.
Jadi, anarki sejatinya bumi utopis yang dihuni individu-individu yang tidak mau memiliki pemerintahan dan menikmati kebebasan mutlak. Konsekuensi butir pertama adalah, anarki lalu antihirarki. Sebab hirarki selalu berupa struktur organisasi dengan otoritas yang mendasari cara penguasaan yang menindas.
Bukannya hirarki yang jadi target perlawanan, melainkan penindasan yang menjadi karakter dalam otoritas hirarki tersebut. Anarkisme adalah paham hidup yang mencita-citakan sebuah kaum tanpa hirarki secara sospolekbud yang bisa hidup berdampingan secara damai dengan semua kaum lain dalam suatu sistem sosial. Ia memberi nilai tambah, sebab memaksimalkan kebebasan individual dan kesetaraan antar individu berdasarkan kerjasama sukarela antarindividu atau grup dalam masyarakat.
Tiga butir di atas adalah konsekuensi logis mereaksi fakta sejarah yang telah membuktikan, kemerdekaan tanpa persamaan cuma berarti kemerdekaan para penguasa, dan persamaan tanpa kemerdekaan cuma berarti perbudakan.
Tidak begitu jelas kapan pertama kali anarkisme muncul di Indonesia, namun gerakan anarkisme di Indonesia baru mulai marak terlihat di penghujung tahun 90-an. Tidak disangkal lagi bahwa kemunculan gerakan anarkisme pada era 90-an di indonesia, tak lepas dari pengaruh perkembangan punk di indonesia, sebuah aliran musik yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah gaya hidup yang didalamnya sangat kental dengan nuansa anarkistik. Selain itu, jatuhnya era kepemimpinan Soeharto, juga ikut memberikan angin segar bagi berkembangnya gerakan ini. Gerakan anarkis ini sekarang sangat mudah kita dapati, dalam suasana demo ataupun juga ketika sedang ada pertandingan sepakbola, tindakan anarkis ini sangat mudah terjadi. Disini akan kita bahas tentang demostrasi para buruh yang berubah menjadi anarkis karena tuntutan mereka tidak atau belum dipenuhi. Juga aksi para seporter sepakbola yang menjadi penyakit kronis bila timnya bertanding dan mengalami kekalahan maka dapat diprediksi akan terjadi kerusuhan di akhir pertandingan yang kemudian merugikan semua aspek yang ada disini.

Pembahasan tentang unjuk rasa buruh ini termuat dalam Koran-korang nasional, unjuk rasa ini dilakukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pada tanggal 4 Mei, Mereka meneriakkan orasi dan yel-yel menolak revisi UU No 13/2003.. Demo tersebut berlangsung kemudian terjadi tindakan anarkis yang dilakukan dengan merusak tembok gedung DPR, kemudian polisi membubarkan massa yang terus merangsek ke dalam gedung DPR dan tidak mau membubarkan diri walau sudah diultimatum. Ini terjadi karena Sebelumnya, perwakilan buruh yang diterima pimpinan DPR dan Komisi IX (bidang ketenagakerjaan) menuntut kepada DPR agar resmi menolak revisi Undang-Undang (UU) 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebab, penolakan DPR terhadap revisi dalam demo buruh 1 Mei 2007 lalu, belum dilakukan secara kelembagaan.
Meski perwakilan buruh sudah ditemui pimpinan DPR dan Komisi IX, sejumlah perwakilan buruh tidak puas dan langsung keluar menemui ribuan buruh. Mereka masih meragukan pernyataan tersebut, karena tidak ditulis dan ditandangani di kertas yang berkop resmi. Mereka lalu memberitahukan kepada rekan-rekannya yang masih berdemo di luar pagar. Hal ini membuat para buruh bertambah panas dan emosional. Situasi makin tidak terkendali, dan demonstran merangsek ke pintu gerbang DPR. Dorongan puluhan ribu massa itu, akhirnya membuat pagar senilai miliaran rupiah tersebut jebol. Tidak hanya itu, sebab di saat semua orang panik dan kepanasan, ada yang memanaskan suasana dengan membakar ban bekas, kayu, dan spanduk.
Selain itu, sebagian massa ada yang melempar batu, potongan ujung pagar besi yang lancip, kayu, botol air mineral, dan benda-benda lainnya. Walau telah berhasil menjebol pagar, massa tidak sampai masuk ke halaman gedung. Sebab, ribuan aparat kepolisian yang sejak pagi bersiaga mengadang laju mereka dengan menyemprotkan gas air mata. Dalam demo yang rusuh itu, selain menuntut agar DPR secara resmi menolak revisi UU Ketenagakerjaan, mereka juga terpancing dengan pernyataan Wakil Presiden, Jusuf Kalla yang mengatakan sikap Komisi IX DPR RI itu belum resmi mewakili lembaga. Karena sikap resmi DPR itu masih harus diproses melalui sidang paripurna, setelah mendengar sikap fraksi-fraksi yang ada.
Disini tindakan Unjuk rasa Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) di DPR, Rabu (3/5), yang berakhir rusuh, patut disesalkan. Keributan tak perlu terjadi, andai petinggi negara dan pimpinan DPR yang sebenarnya menempati posisi sebagai perwakilan dari rakyat, tidak berprilaku konyol. Karena tindakan ini terjadi kerugian yang cukup besar. Ribuan buruh yang berunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR-RI, merobohkan gerbang besi yang baru dibangun dengan daya milyaran rupiah. Inilah tindakan yang sangat disesalkan dan seharusnya tidak terjadi. Tindakan brutal para buruh yang merusak ini lah yang merupakan tindakan anarkis yang halrusnya tidak terjadi jika mereka para buruh dan pemerintah dalam hal ini DPR tidak bertindak sendiri-sendiri.
Selain contoh tindakan anarkis yang merusak dari para buruh yang merugikan itu masih banyak juga tindakan dari masyarakat yang bisa dikategorikan sebagai tindakan anarkis. Yang saya angkat selain tindakan buruh diatas adalah tindakan anarkis dari pada suporter olahraga terutama seporter sepak bola. Ada banyak khasus yang bisa kita bicarakan, tidak hanya satu saja namun bisa berpuluh-puluh bahkan mencapai ratusan masalah anarkis yang ada di dalam dunia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas ini. Disini suporter yang sangat fanatik akan sangat mudah menjadi brutal jika tim yang dijagokannya mengalami kekalahan, disini kekalahan yang mereka anggap sebagai kekalahan yang tidak adil.
Salah satu contohnya adalah kerusuhan antar suporter sepakbola tepatnya di stadion 10 November Tambaksari Surabaya ketika pertandingan antara Persebaya versus Arema. Yang berbuat ulah lagi lagi Bonek (bondho Nekat), mereka tidak hanya menghancurkan semua fasilitas2 stadion yang merugikan hampir milyaran tapi juga pihak-pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pertandingan tersebut. Seperti Telkom yang kehilangan satu unit mobil Daihatsu F69 Hi line, telkom diperkirakan rugi 3,3 milliar rupiah!!! (www.suarasurabaya.net). Belum lagi pihak Anteve yang menyiarkan secara langsung, mengalami kerugian yang paling parah.
Hal yang paling menyedihkan bonek tidak hanya merusak mereka juga menjarah, seperti penjarahan kamera Anteve dan masih banyak lagi. Ini bukan satu satunya kerusuhan yang dilakukan bonek, mereka berkali kali selalu membuat kerusuhan. Lalu apa yang harus dilakukan agar mereka jera? sudah berkali-kali “Persebaya dan Boneknya” di berikan sanksi, namun tetap saja berbuat “onar”.
Tindakan ini oleh pihak yang berwenang dalam bidang sepak bola PSSI telah berusaha memberikan sanksi tegas kepada para pelaku dari pada kerusuhan tersebut. Komisi suporter PSIS Semarang melakukan evaluasi bersama pengurus kelompok suporter "Panser Biru" dan "Snax" terkait tawuran antar suporter yang terjadi di Jepara."Intinya saya ingin suporter Semarang bersatu dan tetap menjaga persaudaraan," kata Ketua Komisi Sporter PSIS AKBP Drs A.Yudi Suwarso SH di Semarang, Selasa. Menurut Kasat Narkoba Polwiltabes Semarang ini, dalam pertandingan-pertadingan ke depan, suporter Semarang harus bisa menjaga keamanan dan bisa menjadi tuan rumah yang baik."Jangan gampang terpancing dengan perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab," pinta mantan Kasat Reskrim Poltabes Semarang ini. Pihaknya menyesalkan dan menyayangkan terjadinya kerusuhan antar suporter yang terjadi di stadion dan luar stadion itu, sehingga mengakibatkan kerugian materiil dan korban luka."Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, apabila semua pihak dapat menahan diri dan tidak terpancing oleh provokasi. Satu orang yang berbuat, semua kena getahnya," katanya.

Mengapa Kita Mudah Marah ?

Belakangan ini, sering kita mendengar berita
amuk massa di berbagai daerah di Tanah Air akibat ketidakpuasan massa
pendukung pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) setempat. Mereka tidak
hanya melakukan demonstrasi, bahkan bebera- pa oknum merusak tempat-tempat
umum dan melakukan perbuatan anarki.

Kita tentu bertanya mengapa masyarakat mudah sekali menjadi marah.
Mengapa hal yang sebenarnya tidak terlalu menyangkut diri mereka
seperti pada pemilihan pilkada tersebut mampu membuat mereka lupa
diri dan bersikap anarkis?

Sebagian orang berpendapat, mungkin saja masyarakat yang mengamuk itu
ditunggangi oleh oknum dan pendukungnya yang marah karena tidak
terpilih dalam pilkada. Jadi massa itu hanya disuruh untuk bersikap
anarki oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab agar memperkeruh
suasana. Namun, mengapa massa mau melakukan hal itu dengan risiko
akan ditangkap oleh pihak berwajib?

Sebagai seorang dokter tentunya saya berusaha mencari dasar biologis
dari kemarahan dan perilaku agresif tersebut. Seperti yang saya
sampaikan dalam The 5th Asia Pacific Association of Psychotherapist,
2008 yang baru saja berlalu.

Kemarahan dan agresivitas dapat disebabkan sistem serotonergik di
dalam otak yang mengalami penurunan fungsi. Hipotesis ini
mengemukakan bahwa kurangnya serotonin di celah sinaps di otak
membuat seseorang menjadi mudah marah dan berperilaku agresif.

Serotonin merupakan neurotransmitter atau zat penghubung di otak yang
banyak dihubungkan dengan berbagai jenis gangguan jiwa, seperti
depresi, skizofrenia, dan gangguan kepribadian ambang.
Ketidakseimbangan zat ini dapat mengakibatkan seseorang lebih rentan
mengalami gangguan kejiwaan, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya.

Lebih lanjut tentunya sebagai seorang yang bekerja di bidang
kesehatan jiwa, saya juga melihat fenomena kemarahan dan agresivitas
dari segi psikologis si pelaku. Kemarahan bisa kita identikan dengan
suatu reaksi yang biasa terjadi pada manusia, begitu pun dengan
agresivitas.

Pada zaman lampau, manusia-manusia purba melakukan perburuan untuk
menyediakan makanan, terutama pada musim dingin. Perburuan ini
membutuhkan agresivitas, dan ini mereka lakukan untuk bertahan hidup.

Tetapi pada zaman modern sekarang ini, apakah reaksi primitif seperti
ini masih perlu dan dipertontonkan dengan jelas. Apakah kemarahan
dalam menanggapi hasil pilkada adalah salah satu bentuk untuk
bertahan hidup?

Sebagian orang yang melakukannya tentu saja bisa membenarkan alasan
itu. Tentunya hal ini berlaku hanya untuk orang-orang yang
berkepentingan langsung dengan hasil pilkada itu. Tetapi mengapa
masyarakat yang tidak tahu apa pun bisa menjadi begitu mudah
terpengaruh untuk melakukan kegiatan anarki bersama-sama.

Kekecewaan Terpendam

Saya melihat masyarakat saat ini mudah menjadi marah karena sudah
begitu sering dikecewakan. Kekecewaan akibat apa yang diharapkan oleh
masyarakat tidak sesuai dengan apa yang didapatkan.

Kekecewaan yang berlangsung lama ini dapat membuat masyarakat menjadi
tertekan dan depresi, namun pada suatu saat dapat timbul sebagai suatu
bentuk kemarahan dan perilaku agresif yang tak terkendali.

Saya pernah menulis di surat kabar ini bahwa kita harus banyak
belajar dari daya tahan masyarakat menghadapi keadaan ekonomi yang
semakin sulit. Mereka tidak mampu mengeluh, tapi mereka dapat tetap
hidup menjalani keadaan sulit tersebut.

Namun, hendaknya ini tidak membuat orang-orang yang berkuasa
membiarkan apa yang terjadi di masyarakat. Kesulitan ekonomi yang
terjadi di masyarakat terkadang begitu timpang dengan berbagai
tindakan korupsi yang dilakukan para penguasa.


Bagaimana masyarakat
tidak mudah menjadi marah bila pemimpinnya sendiri tidak mampu
berempati terhadap nasib masyarakatnya, malahan sibuk memperkaya diri
sendiri dan berebut kekuasaan.

Hal ini membuat pada akhirnya begitu ada pemicu sedikit saja,
masyarakat akan terpicu ke dalam bentuk anarki karena tekanan besar
yang selama ini sulit mencari saluran pengeluarannya seperti
mendapatkan tempatnya.

Apa yang Harus Dilakukan ?

Kita tentunya menginginkan keadaan masyarakat yang sejahtera dan
sentosa. Untuk itu rasanya bukan hanya jargon yang kita butuhkan
untuk mengatasi hal ini, namun kerja nyata dengan mengatasi segala
persoalan sosial masyarakat yang semakin menumpuk.

Saya yakin dengan semakin sejahteranya masyarakat maka keinginan
mereka untuk melakukan protes terhadap pemerintah atau orang- orang
yang berkuasa akan semakin berkurang.
Kalau mereka sejahtera dan perutnya kenyang, untuk apa bersusah payah
melakukan tindakan anarki yang dapat membuat mereka terjerat hukum.

Dalam hal ini, pemerintah dan orang-orang yang berkuasa dapat
memberikan ketenteraman kepada masyarakat dengan tidak melakukan
tindakan-tindakan yang sekiranya dapat membuat ma- syarakat kecewa
dan putus asa dengan keadaan yang ada. Tindakan-tindakan yang membuat kecewa
tersebut tentunya tidak perlu lagi dibeberkan di sini.

Bila semua berjalan sebagaimana mestinya, niscaya kemarahan dan
agresivitas masyarakat dapat dikendalikan.


Kalaupun ada yang terus mengobarkan kebencian kepada pemerintah yang telah berlaku lurus dan
patut, maka orang tersebut mungkin selayaknya harus segera
berkonsultasi dengan saya. Si- apa tahu gangguan kejiwaan sedang
melanda dirinya. Mari kita wujudkan bersama masyarakat yang sejahtera dan
sentosa.

Bahasa dan Sastra Sebagai Identiti Bangsa Dalam Proses Globalisasi

I. Mitos Tentang Globalisasi
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara.
Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global." Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.
Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.
"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.




II. Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan.
Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.



Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

III. Politik Bahasan dan Politik Sastra
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.
Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.
Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.