Rainbow

Rainbow

Rabu, 09 Maret 2011

'Sistem subkontrak, antara benci & kebutuhan'

Ada satu proyeksi bahwa bisnis jasa perusahaan pengadaan tenaga kerja atau yang lebih dikenal dengan jasa outsourcing (subkontrak) akan booming. Sebab kondisi ekonomi se-cara global yang tidak memungkinkan perusahaan-perusahaan memberi gaji kepada karyawan tetap dalam jumlah banyak, dan banyaknya pengangguran.
Bagi Indonesia yang lapangan pe-kerjaan informal jauh melampaui lapangan kerja formal maka pekerja kontrak merupakan jembatan bagi jutaan pekerja informal untuk menjadi pekerja formal.
Selain itu, seperti diungkapkan Direktur Ketenagakerjaan dan Analisa Ekonomi Bappenas Bambang Widianto, perusahaan juga dilarang melakukan outsourcing atau pemborongan sebagian pekerjaan.
Sistem tersebut, merupakan fenomena global dimana efisiensi menjadi kunci dari keberhasilan perusahaan. Namun, banyak pihak terutama kalangan serikat pekerja yang menolak adanya sistem outsourcing, karena jelas-jelas merugikan pekerja dan hanya menguntungkan pihak pengusaha.
Tapi, ada pendapat juga bahwa outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah seharusnya, sehingga sangat merugikan pekerja.
Tapi dengan adanya UU No. 13/ 2002 tentang Ketenagakerjaan diharapkan bisa memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja atau buruh, meski ada beberapa pasal yang memerlukan penyempurnaan, termasuk outsourcing.
Menurut penilaian Depnakertrans, sistem PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) tidak mungkin dihilangkan/dihapuskan, karena ada sejumlah pekerjaan yang memang memiliki batas waktu pengerjaannya.
Sistem PKWT yang biasanya dilakukan oleh tenaga subkontrak diperuntukkan bagi pekerjaan penunjang, sehingga pengupahannya menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan penunjang UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sehubungan sistem PKWT, yakni Kepmen No. 100/MEN/ VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT yang ditandatangani pada 21 Juni 2004.
Selain itu, ditetapkan Kepmen No. 101/MEN/ VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang ditandatangani 21 Juni 2004 sebagai peraturan pendukung Pasal 59, 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Dalam Kepmen itu dijelaskan PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai/sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama tiga tahun.
Peraturan itu juga mengatur sistem PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman, PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru dan tentang perjanjian kerja harian/lepas.
Tapi Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Depnakertrans Muzni Tambusai pernah menyatakan hubungan kerja outsourcing pada dasarnya PKWTT (perjanjian kerja waktu tak tertentu) atau tetap dan bukan kontrak kerja.
Bisa pula dilakukan PKWT atau kontrak kerja jika memenuhi semua persyaratan, baik formal maupun material seperti diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan.
Jadi, hubungan kerja pada out-sourcing tidak selalu dalam bentuk PKWT/kontrak, dan akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan outsourcing selalu sama dengan PKWT atau kontrak.
Beberapa tahun ini, pelaksanaan outsourcing seringkali dipakai untuk menekan biaya.
Pelaksanaan outsourcing yang seperti itu bisa menimbulkan keresahan pekerja dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok, sehingga maksudnya tidak tercapai.
Terminologi outsourcing, ada di Pasal 1601 b KUH Perdata yang berbunyi suatu perjanjian dimana pihak kesatu,-pemborong-, mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu.
Dalam UU Ketenagakerjaan memang secara eksplisit tidak ada istilah outsourcing, tapi yang ada adalah praktik outsourcing dalam bentuk pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja atau buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66.
Muzni menyatakan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing harus dibedakan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta seperti diatur Pasal 35, 36, 37 dan 38 UU Ketenagakerjaan.
Kaji Ulang
Tapi secara keseluruhan, sistem outsourcing dalam rekrutmen tenaga kerja masih perlu dikaji ulang karena menyebabkan sumber daya manusia menjadi tidak terampil.
Selain itu, ada banyak pendapat yang mengatakan pemberlakuan UU Ketenagakerjaan memarakkan pengenaan status karyawan/buruh kontrak dan outsourcing.
Alasannya, UU Ketenagakerjaan itu memberi pesangon besar kepada tenaga kerja kena PHK.
Bahkan, beberapa waktu lalu Depnakertrans melakukan pengawasan ketat terhadap perusahaan, menyusul indikasi maraknya penerapan status kontrak dan outsourcing pekerja/buruh di suatu perusahaan yang menyalahi ketentuan.
Saat ini terdapat kecenderungan perusahaan mengenakan status kontrak kerja kepada karyawan selama dua tahun, sebagaimana yang dimungkinkan bagi pekerjaan jenis tertentu di suatu perusahaan.
Namun, setelah dua tahun kontrak kerja selesai, maka pekerja tersebut diistirahatkan selama satu sampai dua minggu, untuk kemudian diminta melamar kembali dengan masa kerja dikembalikan ke nol tahun.
Praktik itu menyalahi aturan karena UU Ketenagakerjaan mengamanatkan hanya jenis pekerjaan tertentu yang boleh dikerjakan dalam jangka waktu terbatas/kontrak bukan pada semua jenis pekerjaan.
Karena yang seharusnya adalah perusahaan hanya boleh mengenakan status karyawan kontrak atau PKWT jika jenis pekerjaan borongan, tidak tetap dan bukan melakukan jenis pekerjan yang rutin atau pekerjaan staf.
Kalangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga meminta sistem PKWT dan subkontrak diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha yang pemanfaatannya sesuai dengan efisiensi manajemen perusahaan.
Menurut pengurus asosiasi tersebut, sistem PKWT dan subkontrak tidak perlu terlalu banyak ada peraturan, karena sekarang ini peraturan ketenagakerjaan semakin rumit.
Ada beberapa hal tentang PKWT dan subkontrak yang perlu diatur dalam Kepmen, yakni batas tanggung jawab hukum perusahaan pemberi kerja dan kontraktor jasa penunjang.
Selain itu, perlu ada aturan tentang hak dan kewajiban perusahaan pemberi kerja, kontraktor jasa penunjang serta pekerja jasa penunjang. Bahkan, masalah pesangon perlu diatur dengan jelas.
Akhirnya salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah membuat regulasi yang kondusif bagi sistem usaha dengan tidak merugi-kan pekerja.

















BURUH PEREMPUAN

AKSI unjuk rasa buruh yang hampir didominasi oleh kaum hawa belakangan ini kerap mewarnai pemberitaan diberbagai media. Hal ini mau tidak mau mengindikasikan ketidakmampuan Negara dalam mewujudkan kewajiban untuk menyelesaikan masalah perburuhan, yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2) bahwa “Setiap warga negara (perempuan dan laki-laki) berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Di dalam GBHN 1993 juga dijelaskan bahwa “Perlindungan tenaga kerja yang mencakup jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan terhadap kecelakaan, dan jaminan kematian serta syarat-syarat kerja lainnya perlu dikembangkan secara terpadu dan bertahap dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan moneternya, kesiapan sektor terkait, kondisi kerja, lapangan kerja dan kemampuan tenaga kerja. Khusus tenaga kerja perempuan perlu diberi perhatian dan perlindungan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya”.
Dari situ pasti muncul pertanyaan dibenak kita, mengapa aksi-aksi buruh tersebut banyak didominasi oleh kaum hawa? Sebenarnya ada apa dibalik aksi-aksi buruh (perempuan) tersebut? Ternyata, jika diusut lebih jauh gerakan buruh dunia termasuk Indonesia sedang mengalami tantangan yang sangat berat.
Pakar perburuhan Richard Hyman menjelaskan, tantangan yang sedang dihadapi ini meliputi lingkup eksternal dan internal organisasi buruh. Pengaruh eksternal dapat ditandai dengan semakin meningkatnya kompetisi ditingkat global yang meletakkan tekanan-tekanan pada relasi industri di tingkat Nasional.
Maka, wajar kiranya jika masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh buruh perempuan. Diantaranya pertama, adanya praktik-praktik eksploitasi terhadap buruh perempuan yang tampak pada bentuk-bentuk pemberian upah yang rendah, pemaksaan jam kerja panjang (lembur), keharusan memenuhi target penjualan, tidak terpenuhinya hak-hak seperti cuti haid dan cuti hamil.
Kedua, masih terjadinya diskriminasi berkenaan dengan upah buruh perempuan yang lebih rendah dibanding laki-laki, juga ancaman PHK (Putus Hubungan Kerja) jika buruh perempuan menikah lalu hamil.
Ketiga, terjadinya komoditisasi. Seperti buruh perempuan yang bekerja di toko, mereka diharuskan untuk selalu berpenampilan menarik, berdandan secantik mungkin, tersenyum, dan lain-lain, demi peningkatan omzet penjualan. Bahkan tak jarang mereka digoda, dicolek dan dijahili oleh pengunjung yang berjenis kelamin “bukan perempuan”.
Dan keempat, adanya marjinalisasi. Kita lihat sekarang ini terdapat kecenderungan di perusahaan-perusahaan industri manufaktur misalnya, lebih suka merekrut buruh perempuan. Kecenderungan ini dinilai oleh sebagian pihak karena buruh perempuan lebih patuh dan relatif mudah dikendalikan.
Setidaknya beberapa permasalahan yang diuraikan di atas adalah sebab logis mengapa buruh perempuan harus rela turun ke jalan untuk aksi bersama meneriakkan nasib mereka yang memang perlu mendapatkan perhatian. Isu perempuan dalam gerakan buruh pun memang sangat penting dan semakin mendesak untuk diperhatikan lebih dalam
Berdasarkan hasil refleksi terkini para feminis terhadap kesadaran dan organisasi diri buruh perempuan, terlihat bahwa pemahaman buruh perempuan mengenai isu perburuhan sama baiknya dengan pemahaman mereka tentang isu perempuan. Hal ini berarti saat berbicara mengenai gerakan buruh perempuan, kita juga berbicara mengenai gerakan perempuan.
Diakui atau tidak, sejarah pun membuktikan. Kita ingat di Chile pada awal tahun 1900, gerakan perempuan mulai tampak karena berangkat dari berbagai kalangan militan, mulai dari anggota serikat buruh, istri kalangan pekerja, buruh tani atau burh tambang yang meminta hak pendidikan, hak politik maupun hak dalam dunia kerja.
Selain itu, pada tahun 1911 tepatnya tanggal 19 Maret di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss, lebih dari sejuta perempuan dan laki-laki turun bersama ke jalan. Selain hak untuk ikut serta dalam pemilu dan posisi di dalam pemerintahan, mereka menuntut hak bekerja, kesempatan memperoleh pelatihan dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan. Di Amerika, pada awal abad itu juga marak dengan diorganisasikannya protes, demontrasi, pemogokan buruh, dan kampanye persamaan hak dan menentang penindasan terhadap buruh perempuan.
Akankan di Indonesia terjadi gelombang pemberontakan lanjutan seperti negara-negara tersebut? Untuk itu, merupakan tugas kita bersama dalam upaya memberdayakan (empowerment) buruh perempuan. Menurut Rachmad Safa’at, staf peneliti pada pusat penelitian studi wanita Universitas Brawijaya, dibutuhkan 3 (tiga) agenda penting dan strategis.
Agenda pertama adalah Reform of law, pembaruan hukum dengan didukung oleh penelitian tentang hubungan perburuhan yang diskriminatif. Disamping itu tidak kalah pentingnya dibutuhkan formulator kebijakan yang mempunyai keberpihakan pada hubungan perburuhan yang emansipatif.
Agenda kedua adalah Advocacy, mengangkat ke permukaan kasus-kasus perburuhan yang diskriminatif, agar memperoleh respon banyak pihak guna dijadikan agenda pemikiran ke arah perubahan yang lebih baik. Pers dan media massa mempunyai peranan penting dalam hal ini.
Agenda ketiga adalah Education, pendidikan penyadaran hak-hak buruh perempuan yang dijamin oleh konvensi internasional dan hukum perburuhan nasional secara “kritis”, disamping kesadaran tentang kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik dan konstalasi perburuhan di Indonesia.
Jalan panjang masih membentang dihadapan kita. Intensitas diskusi, seminar dan penelitian dari pihak yang concern terhadap persoalan buruh perempuan masih perlu terus digulirkan, sehingga diharapkan akan tercetus ide, gagasan bahkan konsep dalam rangka mewujudkan hak-hak dasar buruh perempuan.


BANDUNG - Nasib buruh sampai saat ini masih jauh dari sejahtera. Keadaan ini diperparah dengan adanya sistem upah murah dan sistem kerja kontrak. Dibandingkan dengan buruh laki-laki, kesejahteraan buruh perempuan lebih buruk. Padahal 70 persen buruh adalah perempuan.

"Realita yang ada sekarang adalah buruh dirugikan dengan adanya sistem upah murah dan sistem kerja kontrak," kata Rahmat Sodikin (33), Divisi Kampanye Paguyuban Pekerja Muda Peduli (PPMP) di sela-sela Sidang Nasional PPMP di Hotel Bumi Kitri, Jalan Cikutra, Senin (9/3/2009).

Sodikin lebih lanjut menerangkan terjadi diskriminasi upah yang diberikan kepada buruh laki-laki dan perempuan. Jika buruh laki-laki, ada perbedaan gaji buruh lajang dengan yang sudah berkeluarga. Tetapi tidak demikian dengan perempuan. Masih sendiri maupun sudah berkeluarga digaji sama.

"Ini karena wanita masih belum dianggap pencari upah utama dalam suatu keluarga, mereka hanya tambahan," ujar Sodikin.

Jumlah buruh sendiri mayoritas adalah perempuan. "Saat ini jumlah buruh wanita sebanyak 70 persen baik di industri garmen maupun tekstil," tambah Nanang Ibrahim, buruh salah satu peserta sidang.

Pelanggaran lainnya, kata Nanang, biasanya buruh tidak mendapatkan uang lembur yang sesuai. "Buruh bisa bekerja terus menerus 24 jam dua kali dalam seminggu," kata Nanang. Namun, uang lembur tidak dibayar sesuai dengan aturan yang ada.

Padahal khusus untuk buruh wanita tidak boleh bekerja sampai larut malam karena menyangkut keselamatan. Hal itu diatur dalam UU No 12 tahun 1948. "Pernah terjadi dua kasus pemerkosaan buruh perempuan yang pulang pada malam hari, yang satu malah sampai dibunuh," kata Nanang.

Sodikin menambahkan buruh wanita juga tidak mendapatkan cuti hamil dan haid sesuai dengan UU No 13 tenaga kerja. "Mereka tidak mendapatkan cuti, kalau minta cuti bisa-bisa dipecat malahan," kata Sodikin.







RUSIA - Pada bulan Maret ini, tepatnya pada tanggal 8 Maret, kita sepatutnya mengenangkan kembali sebuah peristiwa besar yang mengguncang seluruh dunia, yang mengubah arah sejarah, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang-namun yang juga diupayakan pelupaannya oleh para intelektual pengabdi kelas berkuasa-Revolusi Februari 1917 di Rusia.
Revolusi ini disebut Revolusi Februari karena penanggalan yang dipakai di Rusia pada jaman itu merupakan penanggalan Gereja Ortodoks Yunani (Kalender Julian). Kalender ini, pada abad ke-20, ketinggalan 13 hari dari penanggalan Gereja Katolik Roma (Kalender Gregorian, yang di Indonesia dikenal sebagai penanggalan Masehi). Maka, seturut penanggalan tersebut, apa yang bagi kita adalah 8 Maret 1917, bagi kaum revolusioner Rusia masa itu adalah 22 Februari 1917. Oleh karena itulah revolusi yang dipicu oleh demonstrasi di tanggal 8 Maret 1917 ini dikenal sebagai Revolusi Februari.
Revolusi ini sangat menarik dan tepat dibahas dalam satu edisi yang tema utamanya bicara tentang Hari Perempuan Internasional karena picu bagi Revolusi ini ditarik persis ketika kaum buruh perempuan di St. Petersburg, Rusia, berdemonstrasi memperingati Hari Perempuan Internasional. Penembakan yang dilakukan pasukan tentara dan polisi Tsar Rusia terhadap 128.000 buruh yang terlibat dalam peringatan Hari Perempuan Internasional itu merupakan bendera start bagi sebuah gelombang revolusioner yang mampu memaksa salah satu Kekaisaran tertua dan paling kolot di Eropa untuk turun tahta.
Kaum perempuan seringkali dipandang sebagai elemen terbelakang dalam gerakan revolusioner. Kaum revolusioner seringkali memandang kaum perempuan dalam hidup mereka sebagai penghalang bagi aktivitas revolusioner mereka. Kaum liberal memandang tidak seharusnya perempuan terlibat dalam aktivitas revolusioner dan mengarahkan perempuan pada aktivitas politik berbasis "gender" yang anti perjuangan kelas. Kaum konservatif yang paling parah, memandang gerakan perempuan dengan jijik, tapi sekaligus berusaha mengorganisir perempuan agar tetap terpenjara oleh semboyan "kasur, dapur dan sumur".
Menarik pelajaran dari sebuah masa revolusioner adalah tugas yang nyaris mustahil dilakukan dengan sempurna. Tapi, setidaknya ada beberapa point yang harus dikemukakan karena point-point ini muncul dengan begitu jelas di tengah gejolak revolusioner di Rusia, yang diawali oleh demonstrasi memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 1917.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar